Ada bagian dalam hati yang rasanya “kalah” saat keluarga pasanganmu masih bergumam atau meragukan posisi kamu di keluarga mereka. Kamu mungkin udah usaha sebaik mungkin—sopan, perhatian, membantunya di rumah, bersikap rendah hati—tapi tetap ada bagian dari mereka yang kayak bilang, “Kamu belum cukup.”
Perasaan gak diterima sepenuhnya itu bikin hati muak, bingung, dan kadang malu sendiri. Apalagi kalau kamu udah rela banyak hal untuk mereka. Tapi ini bukan berarti kamu gagal sebagai calon menantu. Ini sinyal bahwa hubungan itu perlu keseimbangan, strategi, dan kesabaran.
Di artikel ini, kita akan kupas tuntas semua yang perlu kamu pahami dan lakukan. Biar kamu tetap waras, tetap hormat, tapi juga nggak kehilangan diri sendiri.
1. Kenali Sumber Perasaan “Gak Diterima”
Sebelum kamu bertindak, penting banget tahu asal muasalnya. Beberapa kemungkinan:
- Ekspektasi keluarga pasangan terlalu tinggi
- Mereka punya standar yang belum mereka komunikasikan
- Ada pengalaman negatif sebelumnya (mantan menantu, konflik lama)
- Perbedaan latar belakang (budaya, status, cara hidup)
- Perasaan kamu yang terlalu sensitif atau overthinking
Kalau kamu tahu sumbernya, kamu bisa menemukan pendekatan yang tepat—bukan sekadar reaktif.
2. Tetap Setia pada Diri Sendiri, Tapi Beradaptasi Secukupnya
Menjadi diri sendiri itu penting. Tapi juga bukan berarti kamu harus menolak semua hal yang mereka hargai. Ada limbo antara “menyesuaikan diri” dan “menjadi Boneka Keluarga”.
Beberapa prinsip:
- Tahu batasanmu. Jika ada adat atau tradisi yang melanggar nilaimu, kamu boleh negosiasi atau menolak sopan
- Adaptasi secukupnya: misalnya hormati adat keluarga mereka selama nggak merugikanmu emosional
- Ungkapkan nilai-nilaimu dengan lembut: biar mereka tahu siapa kamu, bukan siapa yang mereka ingin kamu jadi
Menjadi pasangan dan calon bagian dari keluarga itu tentang keseimbangan: bukan menyerah, bukan keras kepala.
3. Bangun Komunikasi dengan Pasangan sebagai Jembatan
Jangan kamu yang harus patung berdiam diri. Pasanganmu harus tahu apa yang kamu rasakan.
- Mulailah dari sharing secara tenang: “Kadang aku merasa kurang diterima…”
- Jangan menyudutkan orang tua mereka, tapi sampaikan dampak yang kamu rasakan
- Minta dia jadi mediator: jelaskan ke orang tua dengan sudut pandangmu
Kalau pasanganmu defensif atau menolak membahasnya, itu sinyal hubungan kalian butuh evaluasi bersama.
4. Cari Titik Koneksi yang Sama (Interest, Nilai, Cinta)
Salah satu strategi paling efektif buat diterima adalah menemukan kesamaan. Orang tua pasti lebih “terima” kalau kamu punya:
- Hobi atau minat yang mereka nggak benci
- Respek terhadap nilai-nilai mereka (tanpa meninggalkan nilai dirimu)
- Kenangan bersama, sedikit-sedikit, perlahan
Kalau mereka melihat kamu sebagai seseorang yang bukan asing tapi punya latar yang bisa dipahami, lorong penerimaan bisa terbuka perlahan.
5. Jaga Konsistensi & Kesabaran
Relasi keluarga itu bukan mengejar validasi sekejap. Butuh waktu. Sedikit demi sedikit. Beberapa tips:
- Konsisten dalam sikap baik, bukan sesekali pamer
- Jangan tergoda untuk melakukan “aksi besar” demi diterima
- Ikuti rutinitas kecil (hadir di acara, hormati tradisi)
- Pastikan kamu nggak berubah jadi orang lain demi mereka
Kalau satu hari mereka belum menerima, bukan berarti kamu harus gentar. Kesabaran dalam tindakan lebih berbicara daripada kata-kata klise.
6. Gunakan Empati, Bukan Pembelaan Diri yang Agresif
Kalau mereka bertanya atau menyinggung hal-hal sensitif (asal-usulmu, cara kamu bersikap, kebiasaanmu), jangan langsung membela dengan emosi. Tapi gunakan pendekatan empatik:
- “Maaf kalau selama ini aku belum bisa menunjukkan hal yang Mama harapkan.”
- “Aku menghargai nilai-nilai Mama, aku juga ingin belajar.”
- “Mohon jika ada yang salah, tolong dikoreksi, aku terbuka.”
Empati membuka ruang untuk dialog—defensif menutup ruang itu.
7. Jangan Biarkan Rasa Tidak Diterima Memengaruhi Semangatmu
Kalau kamu terus-menerus mikir “kapan mereka akhirnya terima aku?”, rasanya berat bukan main. Tapi ini penting:
- Ingat: nilai dirimu jauh lebih besar daripada apa kata orang
- Bangun relasi baik di aspek lain: pasangan, teman, keluarga kandung
- Pastikan mentalmu kuat: punya rutinitas self-care
Saat kamu berdiri dengan teguh, perlahan-lahan interaksi keluarga bisa berubah.
8. Bila Perlu, Tetapkan Batas Sehat
“Nggak diterima” sama orang tua pasangan itu bisa jalan ke zona toksik kalau kamu dibiarkan terus-menerus disalahkan atau direndahkan. Batas sehat itu bisa berupa:
- Batasi topik yang kamu bahas
- Batasi kehadiran di acara–acara yang bikin kamu stres
- Jangan biarkan mereka mengatur hidupmu sepenuhnya
- Jika perlu, batasi frekuensi interaksi
Batas itu bukan berarti putus, tapi melindungi diri agar tetap kuat dan bermartabat.
9. Libatkan Mereka dalam Kehidupan Anak (Jika Sudah Ada)
Kalau kamu punya anak, salah satu cara meredakan ketegangan adalah lewat hubungan mereka dengan kakek-nenek. Biarkan ada momen hangat antara mereka dengan anakmu:
- Bantu mereka jadi tokoh positif untuk anak
- Dorong interaksi sehat (curhat ringan, cerita bersama)
- Jangan paksa, tapi buka ruang
Anak sering jadi jembatan antara kamu dan keluarga pasangan.
10. Kalau Semua Sudah Dicoba Tapi Belum Ada Perubahan…
Kadang penerimaan total nggak bisa dipaksakan. Kamu juga punya hak untuk:
- Menerima bahwa mereka mungkin nggak bisa penuh menerima
- Jaga jarak yang sehat agar emosimu nggak makin rapuh
- Fokus ke relasi yang benar-benar membangun (pasangan, anak, teman dekat)
- Evaluasi: apakah perjuangan ini membuatmu tumbuh atau larut di luka
Kalau perubahan belum datang, bukan berarti hubunganmu atau dirimu gagal.
FAQ: Mengenai Merasa Gak Diterima oleh Keluarga Pasangan
1. Apakah normal merasa “gak diterima” di awal?
Sangat normal. Adaptasi keluarga itu butuh waktu. Banyak orang yang merasa “gak diterima” di awal tapi akhirnya diterima seiring proses.
2. Haruskah aku tetap berusaha diterima kalau menyakitkan?
Ya, selama kamu tetap menjaga harga diri. Kalau terlalu menyakitkan, re-evaluasi cara dan intensitas usahamu.
3. Boleh nggak aku langsung bilang ke orang tua pasangan bahwa aku merasa disisih?
Boleh, jika kamu punya kedekatan yang memungkinkan. Tapi sampaikan dengan nada tenang, bukan menyalahkan.
4. Apakah pasanganku salah kalau mereka membela keluarga mereka lebih dulu?
Tidak otomatis salah. Ini refleksi konflik loyalitas. Tapi pasangan harus bisa menjadi jembatan, bukan pihak yang membuatmu makin terpojok.
5. Apakah aku harus “menjadi orang lain” agar diterima?
Tidak. Itu jalan berbahaya. Kamu bisa adaptasi, tapi tetap utuhkan identitasmu. Hubungan sehat itu yang saling menerima perbedaan.
6. Kapan waktu yang tepat untuk menyerah?
Kalau usahamu sudah sangat konsisten, tapi tetap direndahkan, dan itu merusak mentalmu serta relasi inti (pasangan/anak). Kadang menerima bahwa hubungan itu terbatas adalah bentuk kedewasaan.
Penutup
Perasaan gak diterima sepenuhnya oleh keluarga pasangan bisa sangat menyiksa, tapi itu bukan akhir cerita. Kamu punya dua pilihan: larut dalam rasa sakit, atau berdiri dengan penuh martabat sambil tetap membuka ruang untuk hubungan yang lebih baik.
Kuncinya adalah: identitasmu tetap utuh, hatimu tetap terbuka (tapi tidak mudah terluka terus-menerus), dan skala prioritasmu jelas: pasangan, dirimu, dan jika ada—anakmu.